Anna Dressed In Blood – 15

Rumah itu sudah menunggu. Semua yang berdiri di dekatku pada halaman depan ini ketakutan setengah mati akan apa yang ada di dalam, tapi aku lebih ngeri pada rumah itu. Aku tahu ini bodoh, tapi aku tetap saja merasa seolah rumah itu mengawasi, mungkin sambil terkekeh, menyeringai melihat usaha kekanak-kanakan kami untuk menghentikannya, terbahak hingga fondasinya terguncang saat kami menggoyang-goyangkan kaki ayam ke arahnya.

Udara terasa dingin. Embusan napas Carmel membentuk gumpalan awan kecil hangat. Dia memakai jaket korduroi kelabu gelap dan syal rajutan-longgar merah; kantong herba Ibu tersembunyi di baliknya. Will muncul mengenakan jaket tim olahraga sekolah, tentu saja, dan Thomas tampak berantakan seperti biasa dengan mantel tentara usang tebalnya. Dia dan Will mendengus-dengus ke tanah, mengatur batu dari Danau Superior di sekeliling kami dalam lingkaran berdiameter sekitar 1,5 meter.

Carmel mendekat untuk berdiri di sebelahku selagi aku memandangi rumah itu. Athame-ku terikat dan kusampirkan di bahu. Nanti aku akan menyelipkannya ke dalam saku. Carmel mengendus kantong herbanya.

“Aromanya mirip akar manis,” komentarnya, lalu mengendus kantong herbaku untuk memastikan baunya sama.

“Ibumu pintar,” kata Thomas dari belakang kami. “Itu tidak ada dalam mantra, tapi tidak ada ruginya menambahkan sedikit jimat keberuntungan.”

Carmel tersenyum kepadanya dalam keremangan malam. “Dari mana kau mempelajarinya?”

“Kakekku,” jawab Thomas bangga, lalu mengulurkan sebatang lilin kepada Carmel. Dia menyerahkan sebatang lagi untuk Will, juga untukku. “Siap?” tanyanya.

Aku mendongak menatap bulan. Terang, dingin, dan di mataku masih seperti purnama. Tapi, menurut kalender saat ini bulan mulai menua, dan orang yang membuat kalender adalah seorang profesional yang dibayar, jadi kurasa kami memang sudah siap.

Lingkaran batunya hanya berjarak sekitar enam meter dari rumah. Aku menempati posisi di barat dan yang lain bergerak mengambil posisi masing-masing. Thomas berusaha menyeimbangkan mangkuk pengintai di satu tangan sembari memegang lilin di tangan yang satu lagi. Sebotol air Dasani terlihat mencuat dari sakunya.

“Serahkan saja kaki ayamnya kepada Carmel,” saranku ketika Thomas berjuang memeganginya di sela-seIa jari manis dan kelingking. Carmel mengulurkan tangan dengan hati-hati, tapi tidak terlalu hati-hati. Rupanya cewek ini tak sefeminin dugaanku saat kali pertama bertemu dengannya.

“Kau merasakannya?” tanya Thomas, matanya berbinar.

“Merasakan apa?”

“Energinya bergerak.”

Will mengedarkan pandang dengan skeptis. “Yang kurasakan cuma dingin,” tukasnya.

“Nyalakan lilin, melawan arah jarum jam dimulai dari timur.”

Empat api kecil menyaIa, menerangi wajah serta dada kami, menampakkan ekspresi yang sebagian takjub, sebagian takut, dan sebagian lagi merasa bodoh. Hanya Thomas yang tak gelisah. Mungkin pikirannya tak lagi bersama kami. Matanya terpejam, dan ketika berbicara, suaranya sekitar seoktaf lebih rendah daripada biasa. Aku bisa melihat Carmel ketakutan, tapi dia tak berkata apa-apa.

“Sekarang mulai merapal,” perintah Thomas, dan kami melakukannya. Rasanya tak percaya, tapi tak satu pun dari kami mengacaukannya. Rapalannya dalam bahasa Latin, empat kata yang diulang berkali-kali. Kata-kata itu terdengar konyol di lidah kami, tapi semakin lama kami melakukannya, rasa konyolnya pun kian berkurang. Bahkan, Will merapalnya sepenuh hati.

“Jangan berhenti,” kata Thomas, membuka mata. “Bergerak-lah mendekati rumah, jangan putuskan lingkarannya.”

Ketika kami bergerak bersama, aku merasakan kekuatan dari mantra tadi. Aku merasakan kami semua melangkah, kaki kami bergerak bersamaan, disatukan oleh tali tak kasatmata. NyaIa lilin tetap terang tanpa berkerlip, seperti api padat. Aku tak percaya Thomas-lah yang melakukan semua ini—Thomas yang pendek dan canggung ternyata menyembunyikan kekuatan ini di balik jaket tebalnya. Kami menapak bersama menaiki tangga teras, dan sebelum aku sempat berpikir, kami sudah sampai di pintu depan.

Pintu terbuka. Anna berdiri menatap kami.

“Kau datang untuk melakukannya,” ucapnya lirih. “Memang seharusnya begitu.” Ia menatap yang lain. “Kau tahu apa yang akan terjadi jika mereka masuk.” Ia memperingatkan. “Aku tidak bisa mengendalikannya.”

Aku ingin mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Aku ingin memintanya mencoba. Namun, aku tak boleh berhenti merapal.

“Dia bilang semua akan baik-baik saja,” kata Thomas dari belakangku, suaranya agak gemetar. “Dia ingin agar kau mencoba. Kami ingin kau masuk ke lingkaran. Jangan khawatirkan kami. Kami terlindungi.”

Untuk kali pertama aku merasa senang Thomas bisa memasuki kepalaku. Anna menatapnya dan aku secara bergantian, kemudian tanpa berbicara ia menjauhi pintu. Akulah yang pertama melewati ambang pintu.

Aku tahu ketika yang lain sudah masuk, bukan hanya karena kaki kami bergerak seperti satu kesatuan, melainkan lantaran Anna mulai berubah. Pembuluh darah merambati lengan dan leher, meliuk-liuk menjalari wajahnya. Rambutnya berubah licin dan hitam berkilauan. Matanya berganti hitam pekat. Gaun putihnya dibasahi darah merah menyaIa, cahaya bulan terpantul di sana, membuatnya mengilap seperti plastik. Darah itu mengalir di kakinya dan menetes ke lantai.

Lingkaran di belakangku tak tergoyahkan. Aku bangga kepada mereka; jangan-jangan mereka memang berbakat menjadi pembasmi hantu.

Tangan Anna mengepal erat saat pembuluh darah hitam mulai merembes dari sela-seIa jemarinya. Ia melakukan apa yang Thomas minta. Ia berusaha keras, berusaha mengendalikan desakan untuk merobek kulit orang-orang ini, untuk tidak mencabut lengan dari bahu mereka. Aku memimpin lingkaran untuk bergerak maju, dan Anna memejamkan mata rapat-rapat. Kaki kami bergerak lebih cepat. Carmel dan aku berputar sehingga kami berhadapan. Lingkaran membuka, memberi jalan bagi Anna memasuki pusatnya. Untuk sesaat sosok Carmel sama sekali tak terlihat. Yang bisa kulihat hanya tubuh Anna yang berdarah. Dan, ia pun berada di dalam, lalu lingkaran kami kembali menutup.

Kami hampir saja terlambat. Kemampuan Anna untuk menahan diri sudah sampai di batas maksimal, kini mata serta mulutnya terbuka lebar saat ia mengeluarkan jeritan memekakkan. Jemarinya menebas udara dalam gerakan mencakar, aku merasakan kaki Will bergeser mundur, tapi Carmel berpikir cepat dan ia meletakkan kaki ayam di bawah tempat Anna melayang. Ia pun berubah tenang, tak lagi bergerak, tapi menatap kami semua dengan penuh kebencian sambil memutar tubuh perlahan.

“Lingkaran telah terpasang,” kata Thomas, “Ia terkurung.”

Thomas berlutut dan kami semua ikut berlutut bersamanya. Aneh rasanya, merasakan kaki kami semua bagaikan satu kaki. Dia meletakkan mangkuk pengintai di lantai dan membuka botol Dasani-nya.

“Fungsi air ini sama baiknya seperti air yang lain.” Thomas meyakinkan kami. “Bersih, jernih, dan konduktif. Mengkhususkan pemakaian air suci, atau air dari mata air tanah … hanyalah sok-sokan.” Air tertuang ke dalam mangkuk dengan suara merdu sejernih kristal, dan kami menunggu sampai permukaannya tenang.

“Cas,” panggil Thomas, aku menatapnya. Namun, aku terkejut saat menyadari bahwa dia tak mengeluarkan suara. “Lingkaran ini mengikat kita. Kita bisa memasuki pikiran satu sama lain. Beri tahu aku apa yang ingin kau ketahui. Beri tahu aku apa yang ingin kau lihat.”

Semua ini terlalu aneh. Mantranya begitu kuat—aku seakan berada di atas tanah dan terbang setinggi layang-layang pada saat yang bersamaan. Tapi, kakiku terasa menapak mantap. Aku merasa aman.

Tunjukkan kepadaku apa yang telah terjadi pada Anna, pikirku hati-hati. Tunjukkan kepadaku bagaimana ia terbunuh, apa yang memberinya kekuatan ini.

Thomas memejamkan mata lagi, dan Anna mulai menggigil di udara, seakan terserang demam. KepaIa Thomas terkulai. Aku sempat mengira dia pingsan dan kami berada dalam masalah, tapi aku lalu tersadar bahwa dia sedang menatap mangkuk pengintai.

“Oh,” terdengar Carmel berbisik.

Udara di sekeliling kami berubah. Rumah di sekeliling kami berubah. Cahaya kelabu aneh di sana perlahan menghangat, dan selimut debu meluruh dari perabotan. Aku mengerjap. Aku sedang menatap rumah Anna, dalam kondisi semasa Anna masih hidup.

Sebuah karpet tenun terhampar di ruang duduk, diterangi lampu minyak yang membuat cahaya kuning mewarnai suasana. Terdengar bunyi pintu terbuka dan tertutup dari belakang kami, tapi aku masih sibuk mengamati perubahan-perubahan, deretan foto yang tergantung di dinding dan sulaman merah karat di sofa. Jika diamati lebih teliti, tempat ini sebenarnya tak terlihat terlalu bagus; lampu kandilnya pudar dan kristalnya banyak yang hilang, serta ada robekan pada kain pelapis kursi malas.

Tampak sesosok bergerak melintasi ruangan: gadis dengan rok cokelat gelap dan blus kelabu polos. Dia membawa buku sekolah. Rambutnya diikat pita biru membentuk ekor kuda cokelat panjang. Ketika dia berbalik karena ada suara di tangga, aku melihat wajahnya. Anna.

Melihat gadis ini dalam kondisi hidup rasanya tak bisa digambarkan. Aku pernah berpikir bahwa pasti tak banyak sifat Anna hidup yang tersisa pada hantunya sekarang, tapi aku keliru. Ketika dia mendongak menatap laki-laki di tangga, sorot matanya familier. Keras dan cerdas. Jengkel. Tanpa melihat pun aku tahu bahwa itu laki-laki yang diceritakannya kepadaku—orang yang akan menikahi ibunya.

“Apa yang kita pelajari di sekolah hari ini, Anna sayang?” Aksen laki-laki itu sangat kental sampai-sampai aku nyaris tak bisa memahami satu kata pun. Dia menuruni tangga, langkahnya menjengkelkan—lamban, penuh percaya diri, terlalu yakin akan kekuatannya. Dia agak pincang, tapi dia tak benar-benar menggunakan tongkat kayu yang dibawanya. Ketika dia berjalan mengitari Anna, aku jadi teringat ikan hiu yang mengelilingi mangsanya. Rahang Anna menegang.

Lelaki itu memegang bahu Anna dan menyusurkan satu jari di sampul bukunya. “Lagi-lagi hal yang tak kau butuhkan.”

“Mama ingin agar aku sukses,” balas Anna. Suaranya sama dengan yang kukenal, tapi dengan aksen Finlandia lebih kental. Dia berputar. Aku tak bisa melihatnya, tapi aku tahu dia memelototi laki-laki itu.

“Dan, kau akan sukses.” Laki-laki itu tersenyum. Wajahnya tirus dan giginya rapi. Cambang tipis membayang di pipinya, dan dia mulai botak. Sisa rambut pirang pasirnya disisir rapi ke belakang. “Gadis pintar,” bisiknya, mengangkat satu jari ke wajah Anna. Anna menyentakkan tubuh menjauh, lalu berlari menaiki tangga, tapi bukan seperti melarikan diri. Lebih mirip sikap membangkang.

Itu baru gadisku, pikirku, lalu aku teringat sedang terhubung dalam lingkaran. Entah seberapa banyak pikiran dan perasaanku mengalir ke benak Thomas. Dari dalam lingkaran, aku mendengar gaun Anna menetes-netes dan merasakan ia bergidik saat adegan itu berlanjut.

Mataku terus tertuju pada laki-laki itu: calon ayah tiri Anna. Dia menyeringai pada diri sendiri, dan ketika pintu kamar Anna tertutup di lantai dua, dia merogoh ke dalam kausnya dan mengeluarkan segumpal kain putih. Aku tidak tahu apa itu sampai dia mendekatkannya ke hidung. Rupanya gaun yang dijahit Anna untuk pesta dansa. Gaun yang dipakainya saat tewas.

Lelaki cabal keparat, cetus Thomas dalam kepaIa kami. Tanganku terkepal. Desakan untuk menyerang laki-laki itu membuatku kewalahan walaupun aku sadar yang kusaksikan adalah sesuatu yang terjadi enam puluh tahun lalu. Aku menyaksikannya seolah peristiwa itu ditayangkan dengan proyektor. Aku tak bisa mengubahnya sedikit pun.

Waktu bergerak maju; cahaya berubah. Lampu bersinar lebih terang dan tubuh-tubuh berkelebat dalam sosok gelap tak jelas. Aku bisa mendengar suara-suara, obrolan teredam dan pertengkaran. Indraku berjuang keras untuk mengikuti.

Ada perempuan di kaki tangga. Dia mengenakan gaun hitam kasar yang kelihatannya pasti membuat kulit sangat gatal, rambutnya ditarik ke belakang membentuk gelungan rapi. Dia mendongak ke lantai dua, jadi aku tak bisa melihat wajahnya. Namun, aku melihat satu tangannya memegang gaun putih Anna sambil mengayun-ayunkannya naik-turun. Di tangan yang sebelah lagi, dia menggenggam seuntai rosario.

Aku bisa merasakan, lebih dari sekadar mendengar, saat Thomas mengendus-endus. Pipinya berkedut—dia merasakan sesuatu.

Di sini ada kekuatan sihir, pikir Thomas. Kekuatan sihir hitam.

Aku tak tahu apa maksudnya. Tak ada waktu untuk memikirkannya.

“Anna!” teriak perempuan itu, Anna pun muncul dari koridor di puncak tangga.

“Ya, Mama?”

Sang ibu mengacungkan gaun dalam genggamannya. “Apa ini?”

Anna tampak ketakutan. Tangannya mencengkeram susuran tangga. “Dari mana Mama dapat itu? Bagaimana Mama menemukannya?”

“Aku menemukan di kamarnya.” Laki-laki itu lagi, dia muncul dari dapur. “Aku mendengar dia mengatakan sedang mengerjakannya. Aku mengambilnya demi kebaikan dia sendiri.”

“Benarkah?” desak ibunya. “Untuk apa ini?”

“Untuk pesta dansa, Mama,” jawab Anna kesal. “Testa dansa di sekolah.”

“Ini?” Ibunya mengangkat gaun itu dengan direntangkan pada kedua tangan. “Ini untuk berdansa?” Dia mengguncangkan gaun itu di udara. “Dasar pelacur! Kau tidak boleh pergi berdansa! Gadis manja! Kau tidak boleh meninggalkan rumah ini!”

Dari puncak tangga terdengar suara yang lebih manis dan lembut. Seorang perempuan berkulit sewarna zaitun dengan rambut hitam panjang dikepang merangkul bahu Anna. Itu pasti Maria, teman Anna, penjahit yang meninggalkan putrinya di Spanyol.

“Jangan marah, Mrs. Korlov,” kata Maria cepat. “Aku yang membantunya. Itu ideku. Gaunnya cantik.”

“Kau,” bentak Mrs. Korlov. “Kau memperburuk keadaan. Membisikkan omongan kotor Spanyol-mu ke telinga anakku. Dia menjadi pembangkang sejak kau datang. Sombong. Takkan kubiarkan kau berbisik lagi kepadanya. Aku mau kau pergi dari rumah ini!”

“Jangan!” jerit Anna.

Lelaki tadi maju selangkah mendekati tunangannya. “Malvina,” katanya. “Kita tidak perlu sampai kehilangan penyewa kamar.”

“Ssst, Elias,” sergah Malvina. Aku mulai mengerti kenapa Anna tak bisa melaporkan apa yang diincar Elias pada ibunya.

Adegan dipercepat. Kini aku lebih bisa merasakan, bukan hanya menyaksikan apa yang terjadi. Malvina melemparkan gaun itu kepada Anna dan memberi perintah untuk membakarnya. Dia menampar Anna ketika gadis itu berusaha membujuknya agar Maria diizinkan tetap tinggal di sana.

Anna menangis, tapi hanya Anna dalam kenangan. Anna yang sebenarnya mendesis sambil menyaksikan kejadian itu, darah hitamnya menggelegak. Rasanya aku ingin menggabungkan kedua sosok Anna ini.

Waktu pun bergerak, mata dan telingaku berjuang keras mengikuti Maria saat dia pergi dengan hanya membawa satu koper. Aku mendengar Anna bertanya apa yang akan dilakukannya, memohon agar dia tak pergi jauh. Dan, lampu-lampu pun dipadamkan, hanya satu yang masih menyaIa, sementara di luar mulai tampak gelap.

Malvina dan Elias ada di ruang duduk. Malvina merajut sesuatu dengan benang biru gelap dan Elias membaca surat kabar sambil mengisap cangklong. Mereka tampak menyedihkan, bahkan dalam rutinitas santai malam mereka. Ekspresi wajah keduanya hampa dan bosan, dengan bibir terkatup membentuk garis tipis dan muram. Entah bagaimana hubungan mereka, tapi pasti sama menariknya dengan menonton pertandingan boling di TV. Perhatianku beralih ke Anna—seluruh perhatian kami beralih ke Anna—dan seolah kami memanggilnya, dia pun muncul menuruni tangga.

Belum pernah aku merasakan sensasi ganjil seperti ini: ingin memejamkan mata rapat-rapat karena tak mampu mengalihkan pandang ke arah lain. Dia mengenakan gaun putih itu. Gaun yang dipakainya saat dia tewas, tapi penampilannya dalam gaun itu dulu sangat berbeda dengan saat ini.

Gadis ini, berdiri di kaki tangga dengan menjinjing tas kain sambil menyaksikan ekspresi terkejut dan marah yang memuncak di wajah Malvina dan Elias, benar-benar terlihat hidup. Bahunya tegak dan kukuh, dan rambutnya tergerai membentuk ikal-ikal rapi di punggung. Dia mengangkat dagu. Aku sangat ingin bisa melihat matanya, aku tahu sorot mata itu pasti terlihat sedih sekaligus penuh kemenangan.

“Menurutmu apa yang sedang kau lakukan?” desak Malvina. Ditatapnya sang putri dengan ngeri seolah tak mengenalinya. Udara di sekelilingnya seakan beriak, dan samar aku mengendus kekuatan yang tadi Thomas bicarakan.

“Aku mau pergi ke pesta dansa,” jawab Anna tenang. “Dan, aku tidak akan pulang.”

“Kau tidak akan pergi ke pesta mana pun,” kata Malvina sinis, bangkit dari kursi dengan gerakan seperti mangsa. “Kau tidak akan ke mana-mana dengan gaun menjijikkan itu.” Dia mendekati putrinya, menyipit dan menelan ludah kuat-kuat seolah menahan muntah. “Kau memakai gaun putih seperti pengantin, tapi takkan ada lelaki yang sudi menerimamu setelah kau membiarkan murid lelaki di sekolah mengangkat rokmu!” Dia menarik kepaIa ke belakang mirip ular viper, lalu meludahi wajah Anna. “Ayahmu pasti malu.”

Anna bergeming. Satu-satunya hal yang menampakkan emosinya adalah gerak naik-turun cepat di tulang rusuknya.

“Papa menyayangiku,” ucapnya lirih. “Aku tak tahu kenapa Mama tidak.”

“Gadis nakal seperti mu tak ada gunanya dan bodoh,” kata Malvina seraya mengibaskan sebelah tangan. Aku tak mengerti apa maksudnya. Menurutku bahasa Inggris ibu Anna tak jelas. Atau, mungkin dia hanya bodoh. Bisa jadi itu sebabnya.

Tenggorokanku terasa pahit saat aku menyaksikan dan mendengarkan mereka. Belum pernah aku mendengar ada orang bicara kepada anaknya seperti itu. Aku ingin menghampiri dan mengguncang tubuhnya sampai dia sadar. Atau, setidaknya sampai terdengar derak tulang patah.

“Pergi ke atas dan lepaskan bajumu,” perintah Malvina. “Setelah itu bawa turun untuk dibakar.”

Anna tampak menggenggam tasnya semakin erat. Semua barang miliknya berada dalam tas kain cokelat kecil yang diikat dengan tali itu. “Tidak,” bantahnya tenang. “Aku mau pergi dari sini.”

Malvina terbahak. Suaranya pecah dan nyaring. Cahaya gelap muncul di matanya.

“Elias,” katanya. “Bawa putriku ke kamarnya. Lucuti bajunya.”

Ya Tuhan, pikir Thomas. Dari sudut mata, aku melihat Carmel menangkupkan tangan di mulut. Aku tak mau melihat ini. Aku tak mau mengetahui ini. Kalau lelaki itu sampai menyentuhnya, aku akan memutuskan lingkaran ini. Tak peduli walaupun itu hanya terjadi dalam memori Anna. Tak peduli walaupun aku harus lebih dulu mengetahuinya secara pasti. Akan kupatahkan leher orang itu.

“Tidak, Mama.” Anna terdengar ketakutan, tapi ketika Elias mendekatinya, dia memperkukuh posisi berdirinya. “Takkan kubiarkan dia mendekatiku.”

“Sebentar lagi aku akan jadi ayah mu, Anna,” kata Elias. Ucapannya membuatku mual. “Kau harus mematuhiku.” Dia menjilat bibir dengan bersemangat. Di belakangku kudengar Anna-ku, Anna si Gaun Darah, mulai menggeram.

Ketika Elias mendekat, Anna berbalik dan berlari ke arah pintu, tapi lelaki itu menarik tangan dan memutar tubuhnya—begitu dekat sampai-sampai rambut Anna menampar wajahnya, begitu dekat sehingga Anna pasti bisa merasakan panas napas tunangan ibunya ini. Tangan Elias mulai beraksi menarik gaun Anna, aku berpaling menatap Malvina hanya untuk memergoki ekspresi benci bercampur senangnya yang mengerikan. Anna meronta dan menjerit dengan mulut terkatup; dia mengayunkan kepaIa ke belakang dan menghantam hidung Elias, memang tak cukup keras untuk membuatnya berdarah, tapi sakitnya pasti bukan kepalang. Dia berhasil melepaskan diri lalu menghambur menuju dapur dan pintu belakang.

“Kau takkan meninggalkan rumah ini!” pekik Malvina dan mengikuti Anna, menjambak segenggam rambutnya, menariknya masuk. “Kau tidak akan pernah, tidak akan pernah meninggalkan rumah ini!”

“Aku akan pergi!” jerit Anna, mendorong ibunya menjauh. Malvina menabrak bufet besar dari kayu dan terhuyung. Anna mengambil jalan memutar untuk menghindarinya, tapi dia tak melihat Elias yang sudah pulih di dekat kaki tangga. Aku ingin berteriak menyuruhnya berbalik. Aku ingin menyuruhnya berlari. Tapi, apa yang kuinginkan tak penting lagi. Semua ini telah terjadi.

“Dasar jalang,” maki Elias. Anna terlompat. Laki-laki itu memegangi hidungnya untuk memeriksa apakah ada darah, memelototi Anna. “Kami memberimu makan. Memberimu pakaian. Dan, ini ungkapan rasa terima kasihmu!” Dia membuka telapak tangan walaupun tak ada apa-apa di sana, lalu menampar Anna keras dan mencengkeram bahunya, mengguncang dan meneriakinya dalam bahasa Finlandia yang tak kumengerti. Rambut Anna berkibar, dia mulai menangis. Semua itu sepertinya membuat Malvina senang, dia menyaksikannya dengan mata berbinar-binar.

Anna tak menyerah. Dia melawan dan menerjang, menabrakkan Elias ke dinding dekat tangga. Ada teko porselen pada bufet di sebelah mereka. Dia menghantamkan benda itu ke sisi kepaIa Elias, membuat laki-laki itu meraung dan melepaskannya. Malvina berteriak ketika Anna berlari ke pintu, saat itu ada begitu banyak teriakan sehingga aku nyaris tak bisa mendengar apa saja yang mereka ucapkan. Elias menjegal Anna dan menarik betisnya. Gadis itu terjatuh di lantai ruang tamu.

Bahkan, sebelum Malvina keluar dari dapur sambil menggenggam pisau pun aku tahu saatnya telah tiba. Kami semua tahu. Aku bisa merasakan mereka—Thomas, Carmel, dan Will—tak bisa bernapas, tak ada yang lebih mereka inginkan selain memejamkan mata, atau berteriak dan didengarkan. Mereka belum pernah menyaksikan peristiwa seperti ini. Bahkan, tak pernah berpikir akan menyaksikannya.

Aku menatap Anna yang tertelungkup di lantai, tampak cemas, tapi tidak ketakutan. Aku memperhatikannya berjuang membebaskan diri, bukan hanya dari cengkeraman Elias, melainkan juga dari segalanya, dari rumah yang mengekang, dari kehidupan ini yang berat membebani bahunya, mengimpit dan membenamkannya ke tanah. Aku memperhatikan gadis itu ketika sang ibu membungkuk di atasnya sambil menggenggam pisau dapur dengan amarah membara di matanya. Amarah konyol, tak berdasar. Kemudian, pisau itu ditempelkan di leher Anna, ditorehkan di kulitnya sehingga mengguratkan garis merah dalam. Itu terlalu dalam, ujarku dalam hati, terlalu dalam. Aku mendengarkan jeritan Anna sampai dia tak mampu lagi menjerit.

Tinggalkan komentar